Tuesday, January 26, 2016

Makalah Tafsir Al-Jawahir tafsir hadits

ABSTRAK


Tak diragukan lagi bahwa banyak ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara tentang alam raya. Salah satu cara untuk menguak “tanda-tanda” tersebut adalah dengan melakukan penafsiran terhadap firman Tuhan yang termaktub dalam al-Qur’an al-Karim. Tetapi hanya sedikit sekali tafsir yang berbicara dengan melakukan pendekatan ilmu pengaetahuan. Salah satu tafsir yang membuat terobosan baru adalah tafsir Jawahir. Terlepas dari kontroversi boleh tidaknya tafsir bil 'ilmi, yang pasti tafsir ini memberi kontribusi penting dalam dunia penafsiran.
Tujuan dari penulisan tafsir ini adalah agar umat Islam 'menyenangi' keajaiban alam semesta. Keindahan-keindahan bumi, dan agar para generasi berikutnya cenderung pada nilai agama, sehingga Allah SWT mengangkat peradaban mereka ke tingkat yang tinggi. Thanthowi dalam menafsirkan sangat memberikan perhatian besar pada ilmu-ilmu kealaman dan keajaiban makhluk, ia menyatakan di dalam Al-Qur’an terdapat ilmu-ilmu pengetahuan yang banyak jumlahnya lebih dari 750 ayat, ia juga menganjurkan umat Islam agar memikirkan ayatayat Al-Qur’an yang mengarahkan pada ilmu pengetahuan.
Thanthawi dalam tafsir ini banyak memesukan berbagai pendapat dari mulai keterangan dari Nabi, sahabat, tabi’in, ulama-ulama terdahulu, para ilmuan dari berbagai bidang disiplin ilmu, hingga doktrin-doktrin dalam Injil Barnabas. Namun walaupun demikian ia sangat selektif terhadap pendapat-pendapat yang diambil.










PEMBAHASAN


A.    Gambaran Umum Kitab Tafsir Al Jawahir
Kitab Tafsir Al Jawahir adalah buah karya dari seorang ulama bernama Syaikh Tantowi Jauhari dengan judul asli: al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim. Kitab ini terdiri dari 25 juz (13 jilid), dengan rata-rata per jilidnya berjumlah 200-300 halaman dengan cover berwarna merah. Jilid pertama berjumlah 224 halaman, jilid kedua berjumlah 276 halaman, jilid ketiga dan keempat 215 halaman, jilid kelima 270 halaman, jilid keenam 264 halaman, jilid ketujuh 227 halaman, jilid kedelapan 238 halaman, jilid kesembilan 262 halaman, jilid kesepuluh 267 halaman, jilid kesebelas 271 halaman, jilid keduabelas 344 halaman, dan jilid ketigabelas berjumlah 270 halaman. Kitab tafsir ini diterbitkan oleh Mu’sasah Musthafa al-Babi al-Halabi pada 1350 H/ 1929 M lalu dicetak di Beirut, oleh Dar al-Fikr pada 1395 H/ 1974 M. Ukuran dari kitab ini 28 x 19,5 cm.[1]

B.     Riwayat Hidup dan Karya-Karya Thanthawi Jauhari
Thanthawi Jauhari lahir di desa Kifr Iwadllah Mesir, tahun 1287H/1870M, ia adalah seorang pemikir cendekiawan Mesir, bahkan ada yang menyebutnya sebagai seorang filosof Islam, diwaktu kecilnya ia berguru di Al Ghar, sambil membantu orang tuanya, sebagai petani, dari sana ia meneruskan pelajarannya ke Al-Azhar di Kairo, lalu Thanthawi pindah ke Darul Ulum dan menamatkannya pada tahun1311H/1893M, Thanthawi sangat tertarik dengan cara Muhammad Abduh memberikan kuliah di Al-Azhar terutama dalam mata kuliah Tafsir, oleh karna itu Thanthawi tertarik dengan ilmu fisika, dia memandang ilmu fisika dapat menjadi suatu studi untuk menangani kesalahpahaman orang yang menuduh bahwa Islam menentang ilmu dan teknologi modern, daya tarik inilah yang mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkompromikan pikiran Islam dengan memajukan studi ilmu fisika.[2]
Thanthawi diangkat menjadi dosen pengajar di al-Jami’at al-Musriyat 1912 dalam matakuliah falsafat Islam, Thanthawi mendirikan lembaga pendidikan bahasa asing supaya pemuda Islam dapat memahami bahasa barat dan memahami pemikirannya terutama bahasa Inggris, ia juga aktif mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang tersiar dalam surat-surat kabar dan majalah. Dia mendorong orang-orang Mesir agar memperbanyak sekolah dalam sekolah dasar sampai perguruan tinggi.[3]
Tanthawi selalu mengatakan Islam adalah agama akal.Maksudnya, ilmu pengetahuan sesuai dengan tuntunan Al Quran, la juga aktif mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan melalui surat-surat kabar dan majalah, serta menghadiri berbagai pertemuan ilmiah. Selain itu, ia pun mendirikan lembaga pendidikan bahasa Inggris, supaya para pemuda Muslim dapat memahami ilmu dari Barat dan pemikiran mereka. Ada dua bidang keilmuan yang dipandangnya menjadi dasar untuk mencapai tingkat pengetahuan ilmiah, yaitu tafsir dan fisika.Pengetahuan ini pulalah yang dijadikannya 'penangkal' kesalahpahaman orang yang menuduh Islam menentang ilmu dan teknologi modern. Sebagai penulis, Tanthawi telah menghabiskan  umurnya untuk mengarang dan menerjemahkan buku-buku asing ke bahasa Arab. Tidak kurang dari 37 tahun lamanya, sejak ia bekerja sebagai guru sehingga sampai masuk usia pensiun tahun 1930, dari sekian lama masa yang dilaluinya terhimpunlah tidak kurang dari 30 kitab, dari berbagai judul diantara karya-karyanya adalah: Mizanul al-Jawahir fi Ajaibi al Kanwi al bahir (1900M), Jawahru al Ulum (1094), al-Arwah Humaka, Taju al-Murassa, Jamalu al-alam, Nahdatu al-Umat Wa Hayatuhu, Al-Qur’an Waulumu al-Arsiyyat, al- Jawahir fi Tafsiri Al-Qur’an, dari kitab karangannya ada diantaranya yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Eropa, karyanya yang paling terkenal adalah Al-Jawahir fi Tafsiri Al-Qur’an.[4]
Ketika pecah Perang Dunia I (1914), Tanthawi banyak membangkitkan semangat penduduk di sekitar Dar al-'Ulum untuk melawan Inggris, baik melalui tulisan maupun ceramah atau khutbah, la juga tergabung dalam Partai Nasional yang dibentuk oleh Musthafa Kamil. Selain itu ia membentuk kelompok mahasiswa yang diberinya nama 'al-Jam'iyah al-Jawhariyah' (Organisasi Mutiara). Organisasi ini berpengaruh dalam menyebarkan rasa kebangsaan dan martabat peradaban rakyat Mesir, khususnya di daerah Iskandariyah.
Tanthawi wafat pada 1940 M/1358 H, Posisi Tanthawi Para ilmuwan memberikan ragam penilaian terhadap Tanthawi. Ada yang menyatakan, ia seorang sosiolog (hakim ijtima’i) yang selalu memperhatikan kondisi umat. Pernyataan ini didasarkan pada dua karya tulisnya: (1) Nahdlah al-Ummah wa Hayatuha (Kebangkitan dan Kehidupan Umat) yang membahas sistem kehidupan sosial, kondisi umat Islam, ilmu dan peradaban, hubungan antara dua peradaban umur dan barat yang mestinya saling menguntungkan. (2) Aina al-lnsan. membahas tentang hubungan antara organisasi atau kelompok, masalah politik dan sistem pemerintahan.
Selain itu Tanthawi juga banyak membahas tentang objek materi dan hukum alam, sebagaimana terungkap dalam bukunya Nidzam al-'Alam wa al-Umam (Keteraturan Alam Semesta dan Girl Bangsa-bangsa), membahas tentang dunia tumbuhan, hewan, manusia, pertambangan, sistem ruang angkasa (Nidzam al-Samawat) fenomena kehidupan raja, politik Islam, dan politik konvensional, terbit 1905.
Ia mengangkat dua ide besar yaitu: bahwa agama Islam merupakan agama fitrah, relevan dengan rasio manusia dan penciptaan jasmani manusia (al-Jhiba' al-Basyariyah), dan bahwa agama Islam kompatibel dengan hukum alam dan ilmu- ilmu modern. Peneliti lain menempatkan Tanthawi pada posisi pakar keislaman yang menafsirkan Al Quran sesuai dengan zaman modern (waktu itu).
Pernyataan ini terlihat jelas dalam kitab tafsirnya Al-Jawahir dan karya lainnya, yaitu Al-Taj wa al-Murassha (Mahkota dan Mutiara), yang menjelaskan berbagai fenomena alam serta membahas titik temu antara filsafat Yunani, ilmu modern dan teks Al Quran.

C.    Latar Belakang  Penulisan
Pada tahun 1922 M, yaitu ketika Syaikh Tantowi Al Jauhari berumur 60 tahun, beliau memulai menulis kitab tafsir bercorak ‘ilmiy ini. Beliau mengerjakannya selama 13 tahun hingga tahun 1935 M. Namun sebelumnya, kitab ini merupakan kumpulan artikel karangan beliau yang dimuat dengan nama kolom al-Taj al-Murassha’ bi Jawahir al-Qur’an wa al-Ulum. Beliau menulisnya pertama kali ketika mengajar di Universitas Dar al ‘Ulum, Mesir.Tulisan tangannya itu dimuat di dalam majalah Al-Malaji' Al-'Abasiyah.Tujuannya agar umat Islam 'menyenangi' keajaiban alam semesta. Keindahan-keindahan bumi, dan agar para generasi berikutnya cenderung pada nilai agama, sehingga Allah SWT mengangkat peradaban mereka ke tingkat yang tinggi.
Alasan mendorong syaikh Tantowi Jauhari untuk mengarang kitab tafsir ini, ia sebutkan sendiri dalam muqaddimahnya. Beliau mengatakan, “Sejak dahulu aku senang menyaksikan keajaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya, baik yang ada di langit atau kehebatan dan kesempurnaan yang ada di bumi. Perputaran atau revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak datang dan meghilang, kilat yang menyambar seperti listrik yang membakar, barang tambang yang elok, tumbuhan yang merambat, burung yang beterbangan, binatang buas yang berjalan, binatang ternak yang digiring, hewan-hewan yang berlarian, mutiara yang berkilauan, ombak laut yang menggulung, sinar yang menembus udara, malam yang gelap, matahari yang bersinar, dan sebagainya.”
Beliau lebih memperhatikan ayat-ayat kauniyah.Dalam muqaddimahnya, lebih lanjut beliau mengatakan alasan yang melatarbelakangi beliau dalam menulis tafsir ‘ilmiy ini.Beliau menyatakan, "...di dalam karangan-karangan tersebut aku memasukkan ayat-ayat Al Quran dengan keajaiban-keajaiban alam semesta; dan aku menjadikan wahyu Ilahiyah itu sesuai dengan keajaiban-keajaiban penciptaan, hukum alam, munculnya bumi disebabkan cahaya Tuhan-Nya.Maka aku meminta petunjuk (tawajjuh) kepada Tuhan yang Maha Agung agar memberikan taufik dan hidayah-Nya sehingga aku dapat menafsirkan Al Quran dan menjadikan segala disiplin ilmu sebagai bagian dari penafsiran serta penyempurnaan wahyu Al Quran.”
Beliau merasa tidak puas ketika melihat kondisi umat Islam yang hanya fokus dalam kajian fiqh atau tauhid dalam penafsirannya. Umat Islam pada masanya cenderung tidak memerhatikan fenomena alam dan keilmuan lain selain fiqh dan tauhid. Beliau menginginkan agar umat Islam tidak tertinggal dari orang-orang barat, dan agar umat Islam mau memerhatikan alam semesta, yang dimana Allah pun telah menyuruh manusia agar memerhatikan ayat-ayatnya dalam hal ini mengenai alam semesta. Sebagaimana yang beliau katakan, “Ketika aku berfikir tentang keadaan umat Islam dan pendidikan-pendidikan agama, maka aku menuliskan surat kepada para pemikir dan sebagian ulama-ulama besar tentang makna-makna alam yang sering ditinggalkan dan tentang  jalan keluarnya yang masih sering dilalaikan dan dilupakan. Sebab sedikit sekali diantara para ulama yang memikirkan tentang kejadian alam dan keajaiban-keajaiban yang melingkupinya.”

D.    Metode dan Corak Penafsiran
Kitab Jawahir ini adalah kitab tafsir ilmi yang lengkap, yang dibahas secara tahlili, dan di dalam kitabnya ini Thanthawi, membahas ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan teori-teori ilmu pengetahuan yang bermacam-macam.
Dalam Menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an beliau memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan, baik latar belakang turunnya ayat, munasabah ayat dan surat. Kadangkala menyebutkan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, tabi’in, ataupun yang lainnya. Namun demikian, beliau sangat selektif dalam memasukan pendapat-pendapat tersebut.[5]
Seperti halnya penafsiran ulama yang lain, beliau terlebih dahulu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara lafdziah atau penjelasan kalimat dan setelah itu barulah ia masuk pada pembahasan ilmiah yang terkandung dalam surat bersangkutan secara substantif dan universal yang ia namai dengan lathaif atau jawahir dan secara umum penafsiran difokuskan pada ayat-ayat kauniyah.
Pada pembahasan terakhir ini Thanthawi banyak memuat pend pat-pendapat para ahli dari berbagai disiplin ilmu, seperti pendapat Aristoteles, Plato, Ibnu Sina, Al-Farabi, dan lain-lain. Thantawi juga memasukan hadits-hadits Nabi dan ayat-ayat Al-Qur’an lainnya sebagai legitimasi terhadap penafsiran-penafsirannya bahkan kadang-kadang pada masalah-masalah tertentu dia memasukan doktrin-doktrin Injil yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam, seperti kasus penyaliban “Isa al-Masih” oleh orang-orang Yahudi.[6]
Meskipun demikian perlu ditegaskan kembali, dalam memasukan pendapat yang lain beliau sangat selektif. Dalam mengikut sertakan doktrin-doktrin Injil ke dalam tafsirnya, menurut Adz-Dzahabi (1961-355) bahwa Jauhari hanya berpegang pada doktrin-doktrin yang tertera dalam Injil Barnabas karena ia berkeyakinan bahwa Injil Barnabas adalah satu-satunya Injil yang belum terkontaminasi oleh perubahan dan pergantian “kalam” sebagaimana kitab injil lainnya.[7]
Kitab ini memiliki metode pembahasan yang amat berbeda dari kitab-kitab tafsir lainnya, cirinya yang menonjol adalah: 1) Banyaknya merangkum kembali tulisan-tulisannya yang pernah ditulisnya; 2) Dalam pendahuluannya ia mengedepankan alasan mengapa ia menulis kitab ini, yaitu agar umat Islam menyadari betapa pentingnya penguasaan ilmu pada umat Islam seperti fisika, pertanian, pertambangan, matematika ilmu ukur, ilmu falak, ilmu kedokteran, dan lain sebagainya; 3) Dalam menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan hal alamiah, ia melengkapinya dengan kelengkapan gambar dan foto-foto; 4) Kitab ini memuat sekian banyak cabang bahasan.[8]
Maksud dan tujuannya adalah agar umat manusia baik yang muslim maupun yang non muslim mengetahui bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat ilmu-ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan alam yang dapat memperkuat akidah dan iman seseorang.
Imam Thanthawi Jauhari menyebut tafsirnya dengan nama al- Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an al-Karim, sebab dia telah menjadikan mutiara sebagai pengganti bab atau pasal (pembahasan) dari mutiara tersebut kemudian terurai intan permata, kedua dan seterusnya. Karna model penafsiran Thanthawi Jauhari yang demikian kuat observasinya dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan ilmu-ilmu kontemporer, terbukti dalam penafsirannya terhadap Al-Qur’an dicantumkan berbagai bukti empiris yang berupa gambar, tabel-tabel, eksperimen ilmiah dan lain sebagainya. Layaknya pengetahuan eksak, hal ini yang menyebabkan sebagai ulama’ menganggap bahwa tafsir Al-Jawahir ini tidak layak disebut sebagai kitab tafsir.

E.     Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan daripada kitab ini adalah bahwa kitab ini dapat memberikan wawasan yang luas bagi pembaca. Hal itu karena beliau memaparkannya dari segi ilmu pengetahuan.Penafsirannya pun dilengkapi dengan riwayat-riwayat baik itu dari Nabi, sahabat, maupun tabiin.Dan juga, Al Jauhari menyertakan gambar-gambar seperti gambar struktur tumbuhan, hewan, dan lain sebagainya, sehingga tafsir ini menarik perhatian para ilmuan modern.
Kekurangannya, adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh sebagian ulama’ bahwa suatu bentuk tafsir ‘ilmiy lebih banyak ditentang. Hal itu karena sesungguhnya Al Quran berfungsi sebagai petunjuk, bukan keilmiahan. Apalagi menurut sebagian ulama’, beliau terlalu memaksakan penafsiran dengan dikaitkan pada ayat-ayat Quran.

F.     Komentar Ulama’
1.      Manna Al-Qaththan: Syekh Thanthawi ini keterlaluan, sehingga tafsirnya tidak dapat diterima oleh orang-orang yang terdidik, karena ayat-ayat itu dibawa kepada selain pada maknanya. “Pengarang tafsir tersebut (Thanthawi Jauhary) telah mencampur-adukkan kesalahan di dalam kitabnya.Ia memasukkan ke dalamnya gambar tumbuh-tumbuhan, binatang, pemandangan alam, dan berbagai eksperimen ilmu pengetahuan. Seakan-akan, buku ini adalah sebuah diktat tentang ilmu pengetahuan. Ia menerangkan hakekat-hakekat keagamaan  dengan apa yang ditulis Plato dalam Republica-nya dan kelompok Ikhwan al-Shafa dalam risalah mereka, memaparkan ilmu pasti dan ilmu modern. Dalam pandangan kami, Thanthawi Jauharw telah melakukan kesalahan besar terhadap tafsir dengan perbuatannya itu.Ia mengira dirinya telah berbuat baik, padahal tafsirnya out tidak diterima oleh banyak terpelajar karena mengandung pemaksaan dalam membawakan ayat kepada apa yang bukan maknanya. Oleh karena itu, Tafsir ini mendapat predikat yang sama dengan yang diperoleh Tafsir al-Razi. Maka terhadapnya dikatakan, di dalamnya terdapat segala sesuatu keculi tafsir.”
2.       Sebagian Ulama’: Kitab al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim Tanthawi bin Jawhari dinilai oleh sebagian ulama sebagai kitab tafsir yang bercorak ilmiah (tafsir bi al-'ilmy), yang pada masanya telah memberikan ghirah tersendiri bagi umat Islam, khususnya dalam memahami, mendalami, dan menguasai perkembangan ilmu pengetahuan. Kendati terjadi perdebatan seputar eksistensi penafsiran bercorak ilmiah, kehadiran jenis tafsir ini secara umum masih dapat diterima dan dianggap tidak bertentangan dengan Al Quran.



G.    Contoh Penafsiran
Penafsiran Thanthowi terhadap surat Al-Zalzalah:
Thanthowi Jauhari adalah seorang cendekiawan yang sangat tertarik dengan keajaiban-keajaiban alam, yang mana ia berprofesi sebagai pengajar pada sekolah Darul Ulum yang terkenal di Mesir, Iman Thanthowi Jauhari dalam menafsirkan surat Al-Zalzalah, mengawalinya dengan menafsirkan makna ayat-ayat tersebut, ia menafsirkan “apabila bumi diguncangkan dengan guncangan (yang dahsyat)”, bahwa bumi itu akan hancur pada saat tiupan terompet malaikat Israfil, yang pertama dan kedua, kemudian bumi mengeluarkan bebannya, Imam Thanthowi disini menjelaskan bahwa lafadh Atsqo yang berarti perabot rumahtangga, dalam ayat ini adalah segala isi yang ada di perut bumi (bahan tambang), dan benda-benda mati, dan manusia bertanya, mengapa manusia jadi begini? Pada saat itu goncangan telah memuntahkan isi perutnya, manusia bertanya tentang peristiwa itu, karena kedatangannya yang begitu mendadak yang berupa bencana alam urusan besar. Pada hari itu bumi menceritakan berita-beritanya. Thanthowi menjelaskan bahwa bumi itu menceritakan kepada makhluknya dengan perbuatan, ketika itu bumi menjadi bergoncang serta mengeluarkan isinya. Peristiwa ini terjadi karena perintah Allah pada bumi, untuk menciptakan segala sesuatu yang terjadi, kemudian disambung lagi ayat selanjutnya yaitu karena Tuhanmu telah memerintahkan. Pada hari itu manusia dikeluarkan dari kubur dalam bentuk bermacam-macam, maksudnya yaitu manusia dikeluarkan dari tempat kubur ke tempat yang berpisah-pisah dengan bermacam-macam kelompok, ada kelompok manusia yang menerima kitab dengan tangan kanan dan ada yang menerima kitab dengan tangan kiri (untuk memperlihatkan amal perbuatan mereka), balasan amal mereka. Firman Allah “Maka barangsiapa melakukan perbuatan sekecil dzarrah yakni atom yang kecil atau debu, yaitu perbuatan baik, umpamanya, maka akan diperlihatkan, balasan baiknya akan diperlihatkan. Dan barang siapa melakukan perbuatan sekecil atom perbuatan jelek maka akan diperlihatkan.[9]
Setelah memaparkan keseluruhan ayat, Thanthawi kemudian menerangkan makna tersembunyi dari ayat 1 :
Dalam hal ini dia menulis kembali tulisannya yang pernah dimuat dalam majalah Mesir tanggal 27 Juli 1930, yang bertema Musibah Gempa di Italia.
Thanthowi disini menulis keadaan gempa bumi pada saat itu yang cukup besar dan luas, yang mana mencapai skala Richter yang cukup tinggi. Gempa tersebut mengakibatkan jatuhnya korban nyawa dan lukaluka yang cukup banyak, rumah-rumah dan gedung-gedung pada runtuh, pohon-pohon yang tambang. Tercatat gempa tersebut telah merenggut jiwa 2142 orang dan korban luka-luka lebih dari 4551 orang.
Suasana hiruk pikuk, kegelisahan dan berharap terlukis pada saat penyelamat sibuk mencari mayat yang hilang karena tertutup keruntuhan bangunan dan mengangkat korban yang masih hidup yang terhimpit reruntuhan bangunan, proses penyelamatan korban ke tempat pengungsian yang lebih layak. Penyelamatan terhadap korbanpun berjalan lambat karena lalu lintas jalan macet terhalang reruntuhan gedung dan pohon tambang.[10]
Begitulah Thanthowi mengungkapkan makna yang tersembunyi dari ayat 1, tentang goncangan yang dahsyat, Thanthowi mencoba melogikakan gempa yang akan dialami manusia pada saat hari kiamat, dengan mengumpamakan gempa bumi yang pernah dialami sebelumnya, dengan demikian dapat dibayangkan betapa besar dan dahsyat yang gempa menjelang kiamat tersebut.
Selanjutnya Thanthowi Jauhari langsung menafsirkan ayat 7-8 mengenai pembalasan Allah terhadap segala perbuatan manusia di dunia, di sini ini Thanthowi hanya menerangkan arti tersembunyi dengan menuliskan sebuah riwayat. Diriwayatkan bahwa kakek al-Farjadik telah mendatangkannya untuk minta dibacakan suatu ayat, dan ayat ini ayat yang paling bijak dan menamainya sebagai ayat yang serba melimpah.[11]
Setelah Thanthowi menafsirkan makna lafadh dan makna tersembunyi, kemudian ia mengupas keilmuan yang terdapat dalam surat Al-Zalzalah. Dalam hal ini ia mengaitkan dengan pengetahuan modern tentang keajaiban alam. Di sini ia menerangkan bahwa surat ini surat yang luar biasa, di dalamnya mengandung pelajaran bagi manusia untuk berfikir bagaimana manusia bisa mengeluarkan arang, minyak bumi yang bisa menghasilkan api, bahwa di dalam bumi terdapat juga aliran listrik, sebagaimana diluar bumi, dan masih banyak lagi benda-benda yang terkandung dalam perut bumi, seperti benda yang ditemukan di Mesir berupa piramid-piramid kaum terdahulu.
Melihat realitas ini, manusia modern telah berinovasi tinggi untuk menciptakan hal-hal baru, bagaimana menggali dan memanfaatkan apa yang ada di perut bumi agar berguna dalam kehidupan di dunia. Thanthowi berpendapat manusia yang mau berfikir maka di dalamnya ada intuisi (ilham). Dan setiap manusia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap kekuatannya dan kemampuannya. Baginya amal perbuatan secara khusus miliknya, dan barangsiapa meninggalkan aktivitas amal maka haram baginya segala sesuatu yakni dia tidak akan mendapatkan apa-apa.
Sesudah Thanthowi menerangkan rahasia yang ada di bumi, seraya berkata: meskipun surat tersebut pada hakikatnya menunjukkan keadaan bumi pada hari akhir bukanlah disini yang tersirat menunjukkan keadaan bumi di dunia sekarang ini pada saat terjadi gempa semua simpanan-simpanan di perut bumi akan keluar, manusia yang bisa menyesuaikan diri, dan berperilaku tentunya akan selamat.



KESIMPULAN


Thanthawi Jauhari mengerjakannya Tafsir Al Jawahir selama 13 tahun hingga tahun 1935 M. Namun sebelumnya, kitab ini merupakan kumpulan artikel karangan beliau yang dimuat dengan nama kolom al-Taj al-Murassha’ bi Jawahir al-Qur’an wa al-Ulum. Beliau menulisnya pertama kali ketika mengajar di Universitas Dar al ‘Ulum, Mesir.Tulisan tangannya itu dimuat di dalam majalah Al-Malaji' Al-'Abasiyah.Tujuannya agar umat Islam 'menyenangi' keajaiban alam semesta. Keindahan-keindahan bumi, dan agar para generasi berikutnya cenderung pada nilai agama, sehingga Allah SWT mengangkat peradaban mereka ke tingkat yang tinggi.
Kitab tafsir ini menggunakan metode tahlili dengan corak ilmi dan sumber tafsir yang mendominasi adalah ra’yi. Kitab ini memiliki metode pembahasan yang amat berbeda dari kitab-kitab tafsir lainnya, cirinya yang menonjol adalah: 1) Banyaknya merangkum kembali tulisan-tulisannya yang pernah ditulisnya; 2) Dalam pendahuluannya ia mengedepankan alasan mengapa ia menulis kitab ini, yaitu agar umat Islam menyadari betapa pentingnya penguasaan ilmu pada umat Islam seperti fisika, pertanian, pertambangan, matematika ilmu ukur, ilmu falak, ilmu kedokteran, dan lain sebagainya; 3) Dalam menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan hal alamiah, ia melengkapinya dengan kelengkapan gambar dan foto-foto; 4) Kitab ini memuat sekian banyak cabang bahasan.
Pembahasan ilmiah secara luas dalam tafsir ini menjadi kelebihan sekaligus kekuranagan. Kelebihan daripada kitab ini adalah bahwa kitab ini dapat memberikan wawasan yang luas bagi pembaca. Kekurangannya, adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh sebagian ulama’ bahwa suatu bentuk tafsir ‘ilmiy lebih banyak ditentang. Hal itu karena sesungguhnya Al Quran berfungsi sebagai petunjuk, bukan keilmiahan.





DAFTAR PUSTAKA


Baiquni, Ahmad, al Qur’an dan Ilmu Kealaman, (Yogyakarta: Dana Bhakti Waqaf, 1997).
Depag RI, al Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar, 2004).
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Saran Perguruan Tinggi Agama /IAIN, 1992/1993), hlm. 1187.
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, hlm. 1188.
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, hlm. 1189.
Dewan Redaksi Islam, Ensiklopedi Islam.
Jauhari, Thanthawi, al Jawahir fiTafsir al Qur’an al Karim, Juz I, XXV, Beirut: Dar al Fikr, Cet. III, 1974
Yusuf, Muhammad, Skripsi: Hakikat Tafsir Ilmi di Dalam Tafsir Al-Jawahir Karya Thanthawi Jauhari, (Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2000), hlm. 55-56










[1] Tanthawi Jauhari, al Jawahir fiTafsir al Qur’an al Karim, Juz I, Beirut: Dar al Fikr, Cet. III, 1974
[2] Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Saran Perguruan Tinggi Agama /IAIN, 1992/1993), hlm. 1187.
[3] Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, hlm. 1188.
[4] Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, hlm. 1189.
[5] Muhammad Yusuf, Skripsi: Hakikat Tafsir Ilmi di Dalam Tafsir Al-Jawahir Karya Thanthawi Jauhari, (Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2000), hlm. 55-56.
[6] Muhammad Yusuf, hlm. 58-59.
[7] Muhammad Yusuf, hlm. 60.
[8] Dewan Redaksi Islam, Ensiklopedi Islam, hlm. 308.
[9] Thanthowi Jauhari, al Jawahir Al Qur’an, Juz XXV, hlm. 256.
[10] Thanthowi Jauhari, al Jawahir Al Qur’an, hlm. 256.
[11] Thanthowi Jauhari, al Jawahir Al Qur’an, hlm. 257.

No comments:

Post a Comment