ABSTRAK
Tak
diragukan lagi bahwa banyak ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara tentang alam
raya. Salah satu cara untuk menguak “tanda-tanda” tersebut adalah dengan
melakukan penafsiran terhadap firman Tuhan yang termaktub dalam al-Qur’an
al-Karim. Tetapi hanya sedikit sekali tafsir yang berbicara dengan melakukan
pendekatan ilmu pengaetahuan. Salah satu tafsir yang membuat terobosan baru
adalah tafsir Jawahir. Terlepas dari kontroversi boleh tidaknya tafsir bil
'ilmi, yang pasti tafsir ini memberi kontribusi penting dalam dunia penafsiran.
Tujuan
dari penulisan tafsir ini adalah agar umat Islam
'menyenangi' keajaiban alam semesta. Keindahan-keindahan bumi, dan agar para
generasi berikutnya cenderung pada nilai agama, sehingga Allah SWT mengangkat
peradaban mereka ke tingkat yang tinggi. Thanthowi
dalam menafsirkan sangat memberikan perhatian besar pada ilmu-ilmu kealaman dan
keajaiban makhluk, ia menyatakan di dalam Al-Qur’an terdapat ilmu-ilmu
pengetahuan yang banyak jumlahnya lebih dari 750 ayat, ia juga menganjurkan
umat Islam agar memikirkan ayatayat Al-Qur’an yang mengarahkan pada ilmu
pengetahuan.
Thanthawi
dalam tafsir ini banyak memesukan berbagai pendapat dari mulai keterangan dari
Nabi, sahabat, tabi’in, ulama-ulama terdahulu, para ilmuan dari berbagai bidang
disiplin ilmu, hingga doktrin-doktrin dalam Injil Barnabas. Namun walaupun
demikian ia sangat selektif terhadap pendapat-pendapat yang diambil.
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Kitab Tafsir Al Jawahir
Kitab Tafsir Al Jawahir
adalah buah karya dari seorang ulama bernama Syaikh Tantowi Jauhari dengan
judul asli: al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim. Kitab ini terdiri
dari 25 juz (13 jilid), dengan rata-rata per jilidnya berjumlah 200-300 halaman
dengan cover berwarna merah. Jilid pertama berjumlah 224 halaman, jilid kedua
berjumlah 276 halaman, jilid ketiga dan keempat 215 halaman, jilid kelima 270
halaman, jilid keenam 264 halaman, jilid ketujuh 227 halaman, jilid kedelapan
238 halaman, jilid kesembilan 262 halaman, jilid kesepuluh 267 halaman, jilid
kesebelas 271 halaman, jilid keduabelas 344 halaman, dan jilid ketigabelas
berjumlah 270 halaman. Kitab tafsir ini diterbitkan oleh Mu’sasah Musthafa
al-Babi al-Halabi pada 1350 H/ 1929 M lalu dicetak di Beirut, oleh Dar al-Fikr
pada 1395 H/ 1974 M. Ukuran dari kitab ini 28 x 19,5 cm.[1]
B. Riwayat Hidup dan Karya-Karya Thanthawi Jauhari
Thanthawi
Jauhari lahir di desa Kifr Iwadllah Mesir, tahun 1287H/1870M, ia adalah seorang
pemikir cendekiawan Mesir, bahkan ada yang menyebutnya sebagai seorang filosof
Islam, diwaktu kecilnya ia berguru di Al Ghar, sambil membantu orang tuanya,
sebagai petani, dari sana ia meneruskan pelajarannya ke Al-Azhar di Kairo, lalu
Thanthawi pindah ke Darul Ulum dan menamatkannya pada tahun1311H/1893M, Thanthawi
sangat tertarik dengan cara Muhammad Abduh memberikan kuliah di Al-Azhar
terutama dalam mata kuliah Tafsir, oleh karna itu Thanthawi tertarik dengan
ilmu fisika, dia memandang ilmu fisika dapat menjadi suatu studi untuk
menangani kesalahpahaman orang yang menuduh bahwa Islam menentang ilmu dan
teknologi modern, daya tarik inilah yang mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan
yang dapat mengkompromikan pikiran Islam dengan memajukan studi ilmu fisika.[2]
Thanthawi
diangkat menjadi dosen pengajar di al-Jami’at al-Musriyat 1912 dalam matakuliah
falsafat Islam, Thanthawi mendirikan lembaga pendidikan bahasa asing supaya
pemuda Islam dapat memahami bahasa barat dan memahami pemikirannya terutama
bahasa Inggris, ia juga aktif mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang
tersiar dalam surat-surat kabar dan majalah. Dia mendorong orang-orang Mesir
agar memperbanyak sekolah dalam sekolah dasar sampai perguruan tinggi.[3]
Tanthawi selalu mengatakan Islam adalah agama akal.Maksudnya, ilmu
pengetahuan sesuai dengan tuntunan Al Quran, la juga aktif mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan melalui surat-surat kabar dan majalah, serta
menghadiri berbagai pertemuan ilmiah. Selain itu, ia pun mendirikan lembaga
pendidikan bahasa Inggris, supaya para pemuda Muslim dapat memahami ilmu dari
Barat dan pemikiran mereka. Ada dua bidang keilmuan yang dipandangnya menjadi
dasar untuk mencapai tingkat pengetahuan ilmiah, yaitu tafsir dan
fisika.Pengetahuan ini pulalah yang dijadikannya 'penangkal' kesalahpahaman
orang yang menuduh Islam menentang ilmu dan teknologi modern. Sebagai penulis,
Tanthawi telah menghabiskan umurnya
untuk mengarang dan menerjemahkan buku-buku asing ke bahasa Arab. Tidak kurang dari 37 tahun lamanya, sejak ia bekerja sebagai guru sehingga sampai masuk
usia pensiun tahun 1930, dari sekian lama masa yang dilaluinya
terhimpunlah tidak kurang
dari 30 kitab, dari berbagai judul diantara karya-karyanya adalah: Mizanul al-Jawahir fi Ajaibi al Kanwi al bahir
(1900M), Jawahru al Ulum (1094), al-Arwah
Humaka, Taju al-Murassa, Jamalu al-alam, Nahdatu al-Umat Wa Hayatuhu,
Al-Qur’an Waulumu al-Arsiyyat, al- Jawahir fi Tafsiri Al-Qur’an,
dari kitab karangannya ada diantaranya yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Eropa, karyanya yang paling
terkenal adalah Al-Jawahir fi Tafsiri Al-Qur’an.[4]
Ketika pecah Perang Dunia I (1914), Tanthawi banyak membangkitkan semangat
penduduk di sekitar Dar al-'Ulum untuk melawan Inggris, baik melalui tulisan
maupun ceramah atau khutbah, la juga tergabung dalam Partai Nasional yang
dibentuk oleh Musthafa Kamil. Selain itu ia membentuk kelompok mahasiswa yang
diberinya nama 'al-Jam'iyah al-Jawhariyah' (Organisasi Mutiara). Organisasi ini
berpengaruh dalam menyebarkan rasa kebangsaan dan martabat peradaban rakyat
Mesir, khususnya di daerah Iskandariyah.
Tanthawi wafat pada 1940 M/1358 H, Posisi Tanthawi Para ilmuwan memberikan
ragam penilaian terhadap Tanthawi. Ada yang menyatakan, ia seorang sosiolog
(hakim ijtima’i) yang selalu memperhatikan kondisi umat. Pernyataan ini
didasarkan pada dua karya tulisnya: (1) Nahdlah al-Ummah wa Hayatuha
(Kebangkitan dan Kehidupan Umat) yang membahas sistem kehidupan sosial, kondisi
umat Islam, ilmu dan peradaban, hubungan antara dua peradaban umur dan barat
yang mestinya saling menguntungkan. (2) Aina al-lnsan. membahas tentang
hubungan antara organisasi atau kelompok, masalah politik dan sistem
pemerintahan.
Selain itu Tanthawi juga banyak membahas tentang objek materi dan hukum
alam, sebagaimana terungkap dalam bukunya Nidzam al-'Alam wa al-Umam
(Keteraturan Alam Semesta dan Girl Bangsa-bangsa), membahas tentang dunia
tumbuhan, hewan, manusia, pertambangan, sistem ruang angkasa (Nidzam
al-Samawat) fenomena kehidupan raja, politik Islam, dan politik
konvensional, terbit 1905.
Ia mengangkat dua ide besar yaitu: bahwa agama Islam merupakan agama
fitrah, relevan dengan rasio manusia dan penciptaan jasmani manusia (al-Jhiba'
al-Basyariyah), dan bahwa agama Islam kompatibel dengan hukum alam dan
ilmu- ilmu modern. Peneliti lain menempatkan Tanthawi pada posisi pakar
keislaman yang menafsirkan Al Quran sesuai dengan zaman modern (waktu itu).
Pernyataan ini terlihat
jelas dalam kitab tafsirnya Al-Jawahir dan karya lainnya, yaitu Al-Taj wa
al-Murassha (Mahkota dan Mutiara), yang menjelaskan berbagai fenomena alam
serta membahas titik temu antara filsafat Yunani, ilmu modern dan teks Al
Quran.
C. Latar Belakang Penulisan
Pada tahun 1922 M,
yaitu ketika Syaikh Tantowi Al Jauhari berumur 60 tahun, beliau memulai menulis
kitab tafsir bercorak ‘ilmiy ini. Beliau mengerjakannya selama 13 tahun
hingga tahun 1935 M. Namun sebelumnya, kitab ini merupakan kumpulan artikel
karangan beliau yang dimuat dengan nama kolom al-Taj al-Murassha’ bi Jawahir
al-Qur’an wa al-Ulum. Beliau menulisnya pertama kali ketika mengajar di
Universitas Dar al ‘Ulum, Mesir.Tulisan tangannya itu dimuat di dalam majalah Al-Malaji'
Al-'Abasiyah.Tujuannya agar umat Islam 'menyenangi' keajaiban alam semesta.
Keindahan-keindahan bumi, dan agar para generasi berikutnya cenderung pada
nilai agama, sehingga Allah SWT mengangkat peradaban mereka ke tingkat yang
tinggi.
Alasan mendorong syaikh
Tantowi Jauhari untuk mengarang kitab tafsir ini, ia sebutkan sendiri dalam
muqaddimahnya. Beliau mengatakan, “Sejak dahulu aku senang menyaksikan
keajaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya, baik yang ada di langit
atau kehebatan dan kesempurnaan yang ada di bumi. Perputaran atau revolusi
matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak datang dan
meghilang, kilat yang menyambar seperti listrik yang membakar, barang tambang
yang elok, tumbuhan yang merambat, burung yang beterbangan, binatang buas yang
berjalan, binatang ternak yang digiring, hewan-hewan yang berlarian, mutiara
yang berkilauan, ombak laut yang menggulung, sinar yang menembus udara, malam
yang gelap, matahari yang bersinar, dan sebagainya.”
Beliau lebih
memperhatikan ayat-ayat kauniyah.Dalam muqaddimahnya, lebih lanjut
beliau mengatakan alasan yang melatarbelakangi beliau dalam menulis tafsir ‘ilmiy
ini.Beliau menyatakan, "...di dalam karangan-karangan tersebut aku
memasukkan ayat-ayat Al Quran dengan keajaiban-keajaiban alam semesta; dan aku
menjadikan wahyu Ilahiyah itu sesuai dengan keajaiban-keajaiban
penciptaan, hukum alam, munculnya bumi disebabkan cahaya Tuhan-Nya.Maka aku
meminta petunjuk (tawajjuh) kepada Tuhan yang Maha Agung agar memberikan taufik
dan hidayah-Nya sehingga aku dapat menafsirkan Al Quran dan menjadikan segala
disiplin ilmu sebagai bagian dari penafsiran serta penyempurnaan wahyu Al
Quran.”
Beliau merasa tidak
puas ketika melihat kondisi umat Islam yang hanya fokus dalam kajian fiqh atau
tauhid dalam penafsirannya. Umat Islam pada masanya cenderung tidak
memerhatikan fenomena alam dan keilmuan lain selain fiqh dan tauhid. Beliau
menginginkan agar umat Islam tidak tertinggal dari orang-orang barat, dan agar
umat Islam mau memerhatikan alam semesta, yang dimana Allah pun telah menyuruh
manusia agar memerhatikan ayat-ayatnya dalam hal ini mengenai alam semesta.
Sebagaimana yang beliau katakan, “Ketika aku berfikir tentang keadaan umat
Islam dan pendidikan-pendidikan agama, maka aku menuliskan surat kepada para
pemikir dan sebagian ulama-ulama besar tentang makna-makna alam yang sering
ditinggalkan dan tentang jalan keluarnya yang masih sering
dilalaikan dan dilupakan. Sebab sedikit sekali diantara para ulama yang
memikirkan tentang kejadian alam dan keajaiban-keajaiban yang melingkupinya.”
D. Metode dan Corak Penafsiran
Kitab
Jawahir ini adalah kitab tafsir ilmi yang lengkap, yang dibahas secara tahlili,
dan di dalam kitabnya ini Thanthawi, membahas ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan
ayat-ayat Al-Qur’an dan teori-teori ilmu pengetahuan yang bermacam-macam.
Dalam
Menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an beliau memaparkan berbagai aspek yang
terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan, baik latar belakang turunnya
ayat, munasabah ayat dan surat. Kadangkala menyebutkan pendapat-pendapat yang
telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang
disampaikan oleh Nabi, sahabat, tabi’in, ataupun yang lainnya. Namun demikian,
beliau sangat selektif dalam memasukan pendapat-pendapat tersebut.[5]
Seperti
halnya penafsiran ulama yang lain, beliau terlebih dahulu menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an secara lafdziah atau penjelasan kalimat dan setelah itu barulah ia
masuk pada pembahasan ilmiah yang terkandung dalam surat bersangkutan secara
substantif dan universal yang ia namai dengan lathaif atau jawahir dan
secara umum penafsiran difokuskan pada ayat-ayat kauniyah.
Pada
pembahasan terakhir ini Thanthawi banyak memuat pend pat-pendapat para ahli
dari berbagai disiplin ilmu, seperti pendapat Aristoteles, Plato, Ibnu Sina,
Al-Farabi, dan lain-lain. Thantawi juga memasukan hadits-hadits Nabi dan
ayat-ayat Al-Qur’an lainnya sebagai legitimasi terhadap
penafsiran-penafsirannya bahkan kadang-kadang pada masalah-masalah tertentu dia
memasukan doktrin-doktrin Injil yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam,
seperti kasus penyaliban “Isa al-Masih” oleh orang-orang Yahudi.[6]
Meskipun
demikian perlu ditegaskan kembali, dalam memasukan pendapat yang lain beliau
sangat selektif. Dalam mengikut sertakan doktrin-doktrin Injil ke dalam
tafsirnya, menurut Adz-Dzahabi (1961-355) bahwa Jauhari hanya berpegang pada
doktrin-doktrin yang tertera dalam Injil Barnabas karena ia berkeyakinan bahwa
Injil Barnabas adalah satu-satunya Injil yang belum terkontaminasi oleh
perubahan dan pergantian “kalam” sebagaimana kitab injil lainnya.[7]
Kitab
ini memiliki metode pembahasan yang amat berbeda dari kitab-kitab tafsir
lainnya, cirinya yang menonjol adalah: 1) Banyaknya merangkum kembali
tulisan-tulisannya yang pernah ditulisnya; 2) Dalam pendahuluannya ia
mengedepankan alasan mengapa ia menulis kitab ini, yaitu agar umat Islam
menyadari betapa pentingnya penguasaan ilmu pada umat Islam seperti fisika,
pertanian, pertambangan, matematika ilmu ukur, ilmu falak, ilmu kedokteran, dan
lain sebagainya; 3) Dalam menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan hal alamiah,
ia melengkapinya dengan kelengkapan gambar dan foto-foto; 4) Kitab ini memuat
sekian banyak cabang bahasan.[8]
Maksud
dan tujuannya adalah agar umat manusia baik yang muslim maupun yang non muslim
mengetahui bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat ilmu-ilmu pengetahuan khususnya
ilmu pengetahuan alam yang dapat memperkuat akidah dan iman seseorang.
Imam
Thanthawi Jauhari menyebut tafsirnya dengan nama al- Jawahir Fi Tafsir
Al-Qur’an al-Karim, sebab dia telah menjadikan mutiara sebagai pengganti bab
atau pasal (pembahasan) dari mutiara tersebut kemudian terurai intan permata,
kedua dan seterusnya. Karna model penafsiran Thanthawi Jauhari yang demikian
kuat observasinya dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan ilmu-ilmu kontemporer,
terbukti dalam penafsirannya terhadap Al-Qur’an dicantumkan berbagai bukti
empiris yang berupa gambar, tabel-tabel, eksperimen ilmiah dan lain sebagainya.
Layaknya pengetahuan eksak, hal ini yang menyebabkan sebagai ulama’ menganggap
bahwa tafsir Al-Jawahir ini tidak layak disebut sebagai kitab tafsir.
E.
Kelebihan dan
Kekurangan
Kelebihan
daripada kitab ini adalah bahwa kitab ini dapat memberikan wawasan yang luas
bagi pembaca. Hal itu karena beliau memaparkannya dari segi ilmu pengetahuan.Penafsirannya
pun dilengkapi dengan riwayat-riwayat baik itu dari Nabi, sahabat, maupun
tabiin.Dan juga, Al Jauhari menyertakan gambar-gambar seperti gambar struktur
tumbuhan, hewan, dan lain sebagainya, sehingga tafsir ini menarik perhatian para
ilmuan modern.
Kekurangannya,
adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh sebagian ulama’ bahwa suatu bentuk
tafsir ‘ilmiy lebih banyak ditentang. Hal itu karena sesungguhnya Al Quran
berfungsi sebagai petunjuk, bukan keilmiahan. Apalagi menurut sebagian ulama’,
beliau terlalu memaksakan penafsiran dengan dikaitkan pada ayat-ayat Quran.
F.
Komentar Ulama’
1.
Manna
Al-Qaththan: Syekh Thanthawi ini keterlaluan, sehingga tafsirnya tidak dapat
diterima oleh orang-orang yang terdidik, karena ayat-ayat itu dibawa kepada
selain pada maknanya. “Pengarang tafsir tersebut (Thanthawi Jauhary) telah
mencampur-adukkan kesalahan di dalam kitabnya.Ia memasukkan ke dalamnya gambar
tumbuh-tumbuhan, binatang, pemandangan alam, dan berbagai eksperimen ilmu
pengetahuan. Seakan-akan, buku ini adalah sebuah diktat tentang ilmu
pengetahuan. Ia menerangkan hakekat-hakekat keagamaan dengan apa yang ditulis Plato dalam
Republica-nya dan kelompok Ikhwan al-Shafa dalam risalah mereka, memaparkan
ilmu pasti dan ilmu modern. Dalam pandangan kami, Thanthawi Jauharw telah
melakukan kesalahan besar terhadap tafsir dengan perbuatannya itu.Ia mengira
dirinya telah berbuat baik, padahal tafsirnya out tidak diterima oleh banyak
terpelajar karena mengandung pemaksaan dalam membawakan ayat kepada apa yang
bukan maknanya. Oleh karena itu, Tafsir ini mendapat predikat yang sama dengan
yang diperoleh Tafsir al-Razi. Maka terhadapnya dikatakan, di dalamnya terdapat
segala sesuatu keculi tafsir.”
2.
Sebagian Ulama’: Kitab al-Jawahir fi
Tafsir al-Qur'an al-Karim Tanthawi bin Jawhari dinilai oleh sebagian ulama
sebagai kitab tafsir yang bercorak ilmiah (tafsir bi al-'ilmy), yang pada
masanya telah memberikan ghirah tersendiri bagi umat Islam, khususnya dalam
memahami, mendalami, dan menguasai perkembangan ilmu pengetahuan. Kendati
terjadi perdebatan seputar eksistensi penafsiran bercorak ilmiah, kehadiran
jenis tafsir ini secara umum masih dapat diterima dan dianggap tidak
bertentangan dengan Al Quran.
G.
Contoh
Penafsiran
Penafsiran Thanthowi terhadap surat Al-Zalzalah:
Thanthowi
Jauhari adalah seorang cendekiawan yang sangat tertarik dengan
keajaiban-keajaiban alam, yang mana ia berprofesi sebagai pengajar pada sekolah
Darul Ulum yang terkenal di Mesir, Iman Thanthowi Jauhari dalam menafsirkan
surat Al-Zalzalah, mengawalinya dengan menafsirkan makna ayat-ayat tersebut, ia
menafsirkan “apabila bumi diguncangkan dengan guncangan (yang dahsyat)”, bahwa
bumi itu akan hancur pada saat tiupan terompet malaikat Israfil, yang pertama
dan kedua, kemudian bumi mengeluarkan bebannya, Imam Thanthowi disini
menjelaskan bahwa lafadh Atsqo yang berarti perabot rumahtangga, dalam ayat ini
adalah segala isi yang ada di perut bumi (bahan tambang), dan benda-benda mati,
dan manusia bertanya, mengapa manusia jadi begini? Pada saat itu goncangan
telah memuntahkan isi perutnya, manusia bertanya tentang peristiwa itu, karena
kedatangannya yang begitu mendadak yang berupa bencana alam urusan besar. Pada
hari itu bumi menceritakan berita-beritanya. Thanthowi menjelaskan bahwa bumi
itu menceritakan kepada makhluknya dengan perbuatan, ketika itu bumi menjadi
bergoncang serta mengeluarkan isinya. Peristiwa ini terjadi karena perintah
Allah pada bumi, untuk menciptakan segala sesuatu yang terjadi, kemudian
disambung lagi ayat selanjutnya yaitu karena Tuhanmu telah memerintahkan. Pada
hari itu manusia dikeluarkan dari kubur dalam bentuk bermacam-macam, maksudnya
yaitu manusia dikeluarkan dari tempat kubur ke tempat yang berpisah-pisah dengan
bermacam-macam kelompok, ada kelompok manusia yang menerima kitab dengan tangan
kanan dan ada yang menerima kitab dengan tangan kiri (untuk memperlihatkan amal
perbuatan mereka), balasan amal mereka. Firman Allah “Maka barangsiapa
melakukan perbuatan sekecil dzarrah yakni atom yang kecil atau debu, yaitu
perbuatan baik, umpamanya, maka akan diperlihatkan, balasan baiknya akan
diperlihatkan. Dan barang siapa melakukan perbuatan sekecil atom perbuatan
jelek maka akan diperlihatkan.[9]
Setelah
memaparkan keseluruhan ayat, Thanthawi kemudian menerangkan makna tersembunyi
dari ayat 1 :
Dalam
hal ini dia menulis kembali tulisannya yang pernah dimuat dalam majalah Mesir
tanggal 27 Juli 1930, yang bertema Musibah Gempa di Italia.
Thanthowi
disini menulis keadaan gempa bumi pada saat itu yang cukup besar dan luas, yang
mana mencapai skala Richter yang cukup tinggi. Gempa tersebut mengakibatkan
jatuhnya korban nyawa dan lukaluka yang cukup banyak, rumah-rumah dan
gedung-gedung pada runtuh, pohon-pohon yang tambang. Tercatat gempa tersebut
telah merenggut jiwa 2142 orang dan korban luka-luka lebih dari 4551 orang.
Suasana
hiruk pikuk, kegelisahan dan berharap terlukis pada saat penyelamat sibuk
mencari mayat yang hilang karena tertutup keruntuhan bangunan dan mengangkat
korban yang masih hidup yang terhimpit reruntuhan bangunan, proses penyelamatan
korban ke tempat pengungsian yang lebih layak. Penyelamatan terhadap korbanpun
berjalan lambat karena lalu lintas jalan macet terhalang reruntuhan gedung dan
pohon tambang.[10]
Begitulah
Thanthowi mengungkapkan makna yang tersembunyi dari ayat 1, tentang goncangan
yang dahsyat, Thanthowi mencoba melogikakan gempa yang akan dialami manusia
pada saat hari kiamat, dengan mengumpamakan gempa bumi yang pernah dialami
sebelumnya, dengan demikian dapat dibayangkan betapa besar dan dahsyat yang
gempa menjelang kiamat tersebut.
Selanjutnya
Thanthowi Jauhari langsung menafsirkan ayat 7-8 mengenai pembalasan Allah
terhadap segala perbuatan manusia di dunia, di sini ini Thanthowi hanya
menerangkan arti tersembunyi dengan menuliskan sebuah riwayat. Diriwayatkan
bahwa kakek al-Farjadik telah mendatangkannya untuk minta dibacakan suatu ayat,
dan ayat ini ayat yang paling bijak dan menamainya sebagai ayat yang serba
melimpah.[11]
Setelah
Thanthowi menafsirkan makna lafadh dan makna tersembunyi, kemudian ia mengupas
keilmuan yang terdapat dalam surat Al-Zalzalah. Dalam hal ini ia mengaitkan
dengan pengetahuan modern tentang keajaiban alam. Di sini ia menerangkan bahwa
surat ini surat yang luar biasa, di dalamnya mengandung pelajaran bagi manusia
untuk berfikir bagaimana manusia bisa mengeluarkan arang, minyak bumi yang bisa
menghasilkan api, bahwa di dalam bumi terdapat juga aliran listrik, sebagaimana
diluar bumi, dan masih banyak lagi benda-benda yang terkandung dalam perut
bumi, seperti benda yang ditemukan di Mesir berupa piramid-piramid kaum
terdahulu.
Melihat
realitas ini, manusia modern telah berinovasi tinggi untuk menciptakan hal-hal
baru, bagaimana menggali dan memanfaatkan apa yang ada di perut bumi agar
berguna dalam kehidupan di dunia. Thanthowi berpendapat manusia yang mau
berfikir maka di dalamnya ada intuisi (ilham). Dan setiap manusia akan dimintai
pertanggungjawabannya terhadap kekuatannya dan kemampuannya. Baginya amal
perbuatan secara khusus miliknya, dan barangsiapa meninggalkan aktivitas amal
maka haram baginya segala sesuatu yakni dia tidak akan mendapatkan apa-apa.
Sesudah
Thanthowi menerangkan rahasia yang ada di bumi, seraya berkata: meskipun surat
tersebut pada hakikatnya menunjukkan keadaan bumi pada hari akhir bukanlah
disini yang tersirat menunjukkan keadaan bumi di dunia sekarang ini pada saat
terjadi gempa semua simpanan-simpanan di perut bumi akan keluar, manusia yang
bisa menyesuaikan diri, dan berperilaku tentunya akan selamat.
KESIMPULAN
Thanthawi Jauhari
mengerjakannya Tafsir Al Jawahir selama 13 tahun hingga tahun 1935 M. Namun
sebelumnya, kitab ini merupakan kumpulan artikel karangan beliau yang dimuat
dengan nama kolom al-Taj al-Murassha’ bi Jawahir al-Qur’an wa al-Ulum. Beliau
menulisnya pertama kali ketika mengajar di Universitas Dar al ‘Ulum,
Mesir.Tulisan tangannya itu dimuat di dalam majalah Al-Malaji' Al-'Abasiyah.Tujuannya
agar umat Islam 'menyenangi' keajaiban alam semesta. Keindahan-keindahan bumi,
dan agar para generasi berikutnya cenderung pada nilai agama, sehingga Allah
SWT mengangkat peradaban mereka ke tingkat yang tinggi.
Kitab tafsir ini
menggunakan metode tahlili dengan corak ilmi dan sumber tafsir yang mendominasi
adalah ra’yi. Kitab ini memiliki metode pembahasan
yang amat berbeda dari kitab-kitab tafsir lainnya, cirinya yang menonjol
adalah: 1) Banyaknya merangkum kembali tulisan-tulisannya yang pernah
ditulisnya; 2) Dalam pendahuluannya ia mengedepankan alasan mengapa ia menulis
kitab ini, yaitu agar umat Islam menyadari betapa pentingnya penguasaan ilmu
pada umat Islam seperti fisika, pertanian, pertambangan, matematika ilmu ukur,
ilmu falak, ilmu kedokteran, dan lain sebagainya; 3) Dalam menafsirkan ayat-ayat
yang berhubungan hal alamiah, ia melengkapinya dengan kelengkapan gambar dan
foto-foto; 4) Kitab ini memuat sekian banyak cabang bahasan.
Pembahasan
ilmiah secara luas dalam tafsir ini menjadi kelebihan sekaligus kekuranagan. Kelebihan
daripada kitab ini adalah bahwa kitab ini dapat memberikan wawasan yang luas
bagi pembaca. Kekurangannya, adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh sebagian
ulama’ bahwa suatu bentuk tafsir ‘ilmiy lebih banyak ditentang. Hal itu karena
sesungguhnya Al Quran berfungsi sebagai petunjuk, bukan keilmiahan.
DAFTAR
PUSTAKA
Baiquni, Ahmad, al Qur’an dan Ilmu Kealaman, (Yogyakarta:
Dana Bhakti Waqaf, 1997).
Depag RI, al Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar,
2004).
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta:
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan
Prasarana dan Saran Perguruan Tinggi Agama /IAIN, 1992/1993), hlm. 1187.
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, hlm. 1188.
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, hlm. 1189.
Dewan Redaksi Islam, Ensiklopedi Islam.
Jauhari, Thanthawi, al Jawahir fiTafsir al Qur’an al
Karim, Juz I, XXV, Beirut: Dar al Fikr, Cet. III, 1974
Yusuf, Muhammad, Skripsi: Hakikat Tafsir Ilmi di Dalam Tafsir
Al-Jawahir Karya Thanthawi Jauhari, (Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati Bandung,
2000), hlm. 55-56
[1] Tanthawi Jauhari, al
Jawahir fiTafsir al Qur’an al Karim, Juz I, Beirut: Dar al Fikr, Cet.
III, 1974
[2] Departemen
Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Saran
Perguruan Tinggi Agama /IAIN, 1992/1993), hlm. 1187.
[3] Departemen
Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, hlm. 1188.
[4] Departemen
Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, hlm. 1189.
[5] Muhammad
Yusuf, Skripsi: Hakikat Tafsir Ilmi di Dalam Tafsir Al-Jawahir Karya
Thanthawi Jauhari, (Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2000), hlm. 55-56.
[6] Muhammad Yusuf,
hlm. 58-59.
[7] Muhammad
Yusuf, hlm. 60.
[8] Dewan Redaksi
Islam, Ensiklopedi Islam, hlm. 308.
[9]
Thanthowi Jauhari, al Jawahir Al Qur’an, Juz XXV, hlm. 256.
[10] Thanthowi
Jauhari, al Jawahir Al Qur’an, hlm. 256.
[11]
Thanthowi Jauhari, al Jawahir Al Qur’an, hlm. 257.
No comments:
Post a Comment